--> Skip to main content

Haruskah Puasa Ramadhan Berniat Setiap Malam?

Pertanyaan: Suatu ketika kami mendengar bahwa di Arab Saudi sudah terbit Hilal dan mereka sudah mulai puasa, ketika itu di negara kami belum terlihat Hilal. Oleh sebab itu terjadi perbedaan pendapat di antara kami, sebagian memulai puasa sesuai dengan siaran radio, dan yang lain menunggu saat terbitnya hilal di negara kami, karena berpegang kepada ayat yang berbunyi:

"...Barangsiapa di antara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu..."

icon ramadhan

Dan juga sabda Rasulullah :
"Berpuasalah kalian ketika sudah melihat hilal dan berbukalah (di bulan Syawal) ketika melihatnya", dan sabdanya: "Bagi tiap-tiap negara mempunyai rukyat tersendiri".

Di antara dua golongan tadi telah terjadi perdebatan yang alot, maka kami mohon penjelasan (fatwa) dalam hal ini.

Jawaban: Memulai atau menga-khiri puasa berdasarkan perbedaan waktu dan tempat terbitnya Hilal (ikhtilaful mathaali'), atau memulai puasa secara serempak (di semua negara) ketika di salah satu negara sudah terbit hilal (wihdatul mathali') memang satu hal yang secara ilmu dan logika dapat terjadi perbedaan pendapat. Para ulama dulu dan sekarang terbagi dua dalam hal ini; ada yang berpegang pada pendapat yang pertama dan juga tidak   sedikit   yang   berpegang   pada pendapat yang kedua. Sebab terjadinya perbedaan ini karena memang hal ini merupakan satu di antara sekian banyak masalah yang terbuka baginya pintu ijtihad bagi para ulama yang sudah sampai tingkat mujtahid.

Kedua golongan tadi masing-masing berpegang kepada dalil Al-Quran, Sunnah dan Qiyas. Dan kemungkinan dua golongan tadi masing-masing memutuskan pendapatnya berdasarkan satu dalil, seperti Firman Allah dalam QS. 2: 185 dan sabda Rasululllah : "Berpuasalah ketika kalian melihat hilal dan berbukalah ketika melihat-nya".

Hal ini terjadi karena masing-masing berbeda dalam memahami nash tersebut atau karena berbedanya cara mereka dalam istimbat (mengambil keputusan) dari dalil tadi. Tetapi perbedaan ini tidak menyebabkan timbulnya pengaruh buruk di kalangan mereka yang dikhawatirkan dampak negatifnya di kemu-dian hari, karena di dasari dengan maksud yang baik dan masing-masing saling menghormati.

Dan karena para ulama berbeda pendapat dalam hal ini dan masing-masing punyai dasar atau dalil yang kuat, maka ketika kalian sudah mendengar lewat siaran radio atau yang lainnya tentang terbitnya Hilal di salah satu tempat (negara), hendaknya keputusan dimulai atau tidaknya puasa diserahkan kepada kepala negara, kalau ia muslim dan dapat dipercaya, atau kalau tidak, kepada salah satu lembaga   (badan)   atau   organisasi Islam yang ada di negara kalian. Kalau keputusannya harus memulai puasa atau harus menunggu sampai terlihatnya Hilal di negara kalian maka hendaknya kalian mengikutinya.

Semoga dengan keputusan tersebut dapat mencegah timbulnya perselisihan di kalangan kaum muslimin, dan mereka bersatu untuk memulai atau tidaknya puasa berdasarkan keputusan kepala negara atau Iembaga tadi, dan dengan demikian kalian pun dapat terhindar dari perpecahan.

Adapun ungkapan "Bagi tiap-tiap negara mempunyai rukyat tersendiri", ini bukan hadits Nabi, tetapi ucapan golongan yang menganggap bahwa memulai atau mengakhiri puasa Ramadhan berdasarkan tempat dan waktu terbitnya Hilal.

Komentar Ibnu Taimiyah tentang Niat   Puasa Ramadhan
Para ulama berbeda pendapat tentang wajibnya berniat di malam hari ketika hendak melaksanakan puasa esok harinya kepada tiga pendapat:

Pertama: Segolongan berpendapat -di antaranya Imam Abu Hanifah bahwa puasa itu shah (puasa sunnat maupun wajib) kalau sempat berniat ketika tergelincir matahari, sebagaimana dalil yang menunjukkan sunnat puasa Asyura (tgl. 10 Muharram) yang diri-wayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Dan juga hadits Nabi  ketika beliau datang ke rumah 'Aisyah dan tidak mendapatkan makanan, ketika itu beliau bersabda:

"Kalau begitu saya puasa". (HR. Muslim, Tirmidzy, Abu Daud dan Ahmad)

Kedua: Golongan yang lain di antaranya Imam Malik berpendapat bahwa puasa seseorang tidak shah kalau tidak berniat sejak malam harinya, baik puasa sunnat maupun puasa wajib. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits marfu' dan mauquf dari Hafsah dan Ibnu Umar:

"Tidak shah puasa bagi orang yang tidak berniat di malam hari".

Ketiga: Golongan ini mengatakan bahwa puasa fardhu (wajib) tidak shah kalau tidak berniat sejak malam hari sebagaimana hadits Hafsah dan Ibnu Umar di atas, karena semua waktu (dalam bulan Ramadhan) wajib ber-puasa padanya dan niat itu tidak berlaku untuk waktu yang lalu.

Adapun puasa sunnat, maka shah kalau niatnya sejak siang hari, seba-gaimana hadits beliau yang mengata-kan: "Kalau begitu saya puasa". Karena jenis ibadah-ibadah sunnat biasanya lebih luas dan lebih bebas dibanding ibadah-ibadah yang wajib.

Puasa mereka di hari Asyura seandainya hal itu wajib, maka kewajib-an itu dimulai sejak siang hari karena mereka tidak mengetahui sebelumnya.

Pendapat ketiga tadi adalah jalan tengah dari dua pendapat sebelumnya

dan hal ini disetujui oleh Imam Syafi'i dan Imam Ahmad. Tetapi keduanya berbeda pendapat tentang shah atau tidaknya puasa sunnat yang diniatkan sejak tergelincir matahari. Yang paling kuat adalah bahwa hal tersebut shah, sebagaimana riwayat dari para sahabat.

Pengikut kedua madzhab tadi berbeda pendapat tentang pahala puasa sunnat yang diniatkan saat tergelincir-nya matahari, apakah dinilai satu hari penuh atau pahalanya mulai saat berni¬at untuk puasa? Yang terkuat dari dua pendapat Imam Ahmad, bahwa pahala¬nya mulai ketika dimulainya niat untuk puasa.

Para ulama juga berbeda pendapat tentang penentuan niat (disebutkan jenis puasanya seperti puasa Ramadhan). Dalam hal ini mereka terbagi tiga pendapat, baik madzhab Imam Ahmad maupun yang lainnya.

Pertama: Harus dengan niat puasa Ramadhan, maka tidak shah kalau hanya berniat secara mutlak tanpa dikhususkan/ditentukan niat puasa Ramadhan (hanya berniat puasa saja), dan pendapat ini adalah pendapat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Kedua: Bahwa puasanya tetap shah walaupun niatnya mutlak (tidak dikhususkan/ditentukan) atau dikhususkan untuk (jenis puasa) yang lain, sebagaimana madzhab Abu Hani-fah dan salah satu riwayat dari Ahmad. Ketiga: Bahwa puasanya shah dengan niat mutlak (tanpa ditentukan jenis puasanya), kalau tidak diniatkan untuk puasa sunnat atau mengqada puasa atau puasa nadzar. Dan ini adalah pendapat Imam Ahmad kemudian diikuti oleh para sahabatnya.

Pertanyaan: Saya terkadang puasa tanpa berniat terlebih dahulu. Apakah syarat puasa itu harus berniat setiap hari, atau cukup di awal Bulan Ramadhan saja?

Jawaban: Puasa dan ibadah lainnya harus dengan niat, sabda Rasululullah:

"Sesungguhnya suatu perbuatan itu hanya mendapat balasan sesuai dengan niatnya, dan bagi tiap-tiap orang dibalas sesuai dengan niatnya ".

Maka puasa Ramadhan wajib baginya niat di malam hari, bahwa ia berniat sebelum terbit fajar untuk puasa hari itu, dan seorang muslim yang bangun di akhir malam untuk makan sahur menunjukkan adanya niat. Maka tidak dituntut melafadzkan niat seperti ucapan "Saya berniat puasa" karena hal ini adalah bid'ah yang tidak boleh dilakukan.

Niat pada bulan Ramadhan harus dilakukan setiap hari, karena setiap hari itu adalah ibadah tersendiri yang butuh niat, maka harus berniat dalam hati setiaohari. Seandainva ia telah berniat sejak malam hari sebelum tidur kemudian terbangun setelah terbit fajar maka puasanya shah karena dia sudah berniat sejak malam hari.

Pertanyaan: Bagaimana pendapat Syaikh, tentang orang yang melaksana-kan puasa Ramadhan, apakah harus berniat setiap hari atau tidak?

Jawaban: Setiap orang yang mengetahui bahwa besok Ramadhan, dan ia hendak berpuasa, maka sesungguhnya ia telah berniat untuk puasa, karena niat itu tempatnya di dalam hati sama saja ia melafadzkan niatnya atau tidak. Dan yang demikian itu adalah perbuatan kaum muslimin pada umumnya dan semuanya berniat untuk puasa.



Melafadzkan niat tidak wajib menurut kesepakatan kaum muslimin, karena umumnya kaum muslimin melaksanakan puasa dengan niat, dan puasa mereka shah, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan para Ulama. 
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar