--> Skip to main content

Pentingnya Wara' atau Menjaga Diri Dari Sesuatu Yang Syubhat

Wara' artinya menghindarkan diri dari setiap syubhat (samar, antara yang halal dan yang haram) dan mengoreksi diri sendiri (muhasabatun nafsi) setiap saat. Demikian menurut Yunus Bin Ubaid seperti dikutip Syaikh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Madarijus Salikin.


Pengertian yang lebih luas lagi dikutip dari pengarah Manazilus Sa'irin yaitu, "Wara'" adalah menjaga diri semaksimal mungkin secara waspada, dan menajauhi dosa karena pengagungan. Artinya menjaga diri dari hal-hal yang haram dan syubhat serta hal-hal yang bisa membahayakan, semaksimal mungkin untuk dijaga. 

Menurut Pengarang tersebut, menjaga diri dan waspada merupakan dua makna yang hampir serupa. Hanya saja menjaga diri merupakan perbuatan anggota tubuh, sedangkan waspada merupakan amalan hati. Adakalanya seseorang menjaga diri dari suatu bukan karena takut atau kewaspadaan, tetapi karena hendak menunjukkan kebersihan diri, kemuliaan dan kehormatan, seperti orang yang menjaga diri dari hal-hal hina dan keburukan, sekalipun dia tidak percaya kepada Surga dan Neraka. Sedangkah menjauhi dosa karena pengagungan, artinya dorongan untuk menjauhi hal-hal yang haram dan syubhat, bisa karena menghindari ancaman atau karena pengagungan terhadap Allah. Menjauhi kedurhakaan itu bisa karena dorongan takut ataupun pengagungan. (Madarijus Salikin, terjemahan-ringkasan, hal 154). 

Pembicaraan masalah Wara' landasan utamanya diantaranya ayat-ayat dan hadits sebagai berikut: 

Hai Rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan" (Al-Mukminun: 51)

"Dan Pakaianmu, bersihkanlah" (Al-Muddatstsir: 4)

Menurut Ibnu Abbas Radhi Allahu Nganhu, artinya janganlah engkau mengenakan pada dirimu kedurhakaan dan peng-khianatan. Orang-orang Arab biasa mensifati orang yang jujur dan selalu menepati janji dengan sebutan thahiruts-tsiyab (yang bersih pakaiannya), sedangkan orang yang jahat dan suka berkhianat disebut danisuts-tsiyab (yang kotor pakaiannya).

Ibnu Sirin dan Ibnu Zaid berkata, "Ini merupakan perintah untuk membersihkan pakaian dari hal-hal najis, yang tidak dapat dipergunakan untuk shalat, sebab orang-orang musyrik tidak bisa membersihkan diri dan juga tidak bisa membersihkan pakaian."

Ibnu Qayyim menjelaskan, Wara' dapat membersih-kan kotoran hati dan najisnya, sebagaimana air dapat membersihkan kotoran pakaian dan najisnya. Antara pakaian dan hati ada kesesuaian lahir dan batin. Maka ada larangan bagi kaum laki-laki memakai sutera, emas, dan kulit binatang buas, karena berpengaruh terhadap hati, tidak menggambarkan ubudiyah dan ketundukan.

Setelah memulai dalil wara' dengan makanan halal, amal shalih, dan pakaian yang bersih, ialu Ibnu Qayyim menyebutkan, Nabi Shallahu Nngalaihi Wassalam telah menghimpun keseluruhan wara' dalam satu kalimat:

"Di antara tanda kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya." (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad).

Dijelaskan, meninggalkan apa yang tidak bermanfaat ini mencakup perkataan, pandangan, pendengaran, berjalan, berpikir, memegang, dan semuagerakan lahir dan batin. Pernyataan Nabi Shallahu Nngalaihi Wassalam ini sudah mencakup semua yang ada dalam wara'.

Ibnu Qayyim mengutip Sufyan Ats-Tsauri: "Aku tidak melihat sesuatu yang lebih mudah daripada wara', yaitu jika ada sesuatu yang meragukan di dalam jiwamu, maka tinggalkanlah."

Sabda Nabi Muhammad Shallahu Nngalaihi Wassalam: 

"Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. " (HR An-Nasa'i, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim).

Empat tingkatan Wara'
Ibnul Jauzi dalam kitab Minhajul Qashidin yang diringkas oleh Ibnu Qudamah membagi wara' menjadi 4 tingkatan.
  1. Tingkatan orang yang menjauhi segala apapun yang pengharamannya telah ditetapkan fatwa ulama. Hal ini tidak perlu contoh lagi.
  2. Tingkatan orang yang menjauhi setiap syubhat yang dianjurkan untuk dijauhi. Tentang hal ini Rasulullah Shallahu Nngalaihi Wassalam bersabda: "Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. " (HR. An-Nasa'i, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim).
  3. Menjauhi sebagian hal-hal yang halal karena khawatir akan menjuras kepada yang haram.
  4. Menjauhi segala sesuatu yang sama sekali bukan karena (dilarang) Allah. Ini merupakan wara' para shiddiqien. Sebagai contohnya, seperti diriwayatkan dari Yahya bin Yahya An-Naisabury PM bahwa suatu kali dia meminum obat. Lalu isterinya berkata kepadanya, "Andaikata saja engkau mau berjalan-jalan sebentar di perkampungan, agar obat im dapat bekerja dengan baik." Maka dia menjawab, "Itu namanya langkah-langkah kaki yang tak dikenal, sementara aku senantiasa meng-hisab (memperhitungkan) diriku selama tiga puluh tahun."

Ibnul Jauzi berkomentar, orang semacam ini menilai, langkah-langkah kakinya (seperti suruhan isterinya itu) tidak ada tujuan yang bernuansa keagamaan. Karena itu dia tidak melakukannya. Ini merupakan gambaran wara' yang mendetail. Yang pasti, wara' dalam pandangannya adalah hal yang harus diprioritaskan dan harus ada tujuannya. Memang ada beberapa tingkatan lagi yang dikaitkan dengan prioritas niat ini. Siapa yang lebih hati-hati dalam masalah ini, tentu dia akan lebih cepat saat melewati shirath (titian) pada hari Kiamat dan lebih ringan bebannya. Tingkat kedudukannya di akhirat juga berbeda-beda, tergantung tingkatan masing-masing dalam wara'-nya. Serupa dengan tingkatan Neraka bagi orang-orang zhalim karena melanggar yang haram. Silakan engkau berhati-

hati dan siiakan engkau meremehkan masalah ini, karena semuanya kembali kepada dirimu sendiri.
Demikian Ibnul Jauzi yang kitabnya diringkas Ibnu Qudamah.

Tuntunan dari Rasulullah Shallahu Nngalaihi Wassalam
Wara' atau bahasa pesantren Jawa wirangi ini adalah berlandaskan tuntunan dari praktik Rasulullah Shallahu Nngalaihi Wassalam.

Ketika Hasan (cucu Nabi ) masih kecil, ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah. Rasulullah Shallahu Nngalaihi Wassalam memerintahkan:

"Kith kikh, muntahkan, muntahkan." (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah ).

Diriwayatkan bahwa pada suatu malam Rasulullah Shallahu Nngalaihi Wassalam sulit tidur. Kemudian isteri beliau bertanya, "Apa yang membuat Rasulullah Shallahu Nngalaihi Wassalam tidak bisa tidur?" Rasulullah Shallahu Nngalaihi Wassalam menjawab:

"Sesungguhnya saya menemukan sebutir kurma di sampingku, kemudian saya makan. Saya takut jika kurma tersebut adalah kurma dari sedekah." (HR. Ahmad dari Abdullah bin Umar).

Perlu diketahui, Nabi Muhammad Shallahu Nngalaihi Wassalam, keluarganya dan keturunannya dilarang menerima sedekah dan zakat, tetapi boleh menerima hadiah.

Dalam hadits lain, Nabi Muhammad Shallahu Nngalaihi Wassalam bersabda:

"Jadilah kamu orang yang wara', niscaya kamu menjadi manusia yang paling (ahli) beribadah"(HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah, hasari).

Diriwayatkan dari Khulafaur Rasyidin yaitu Umar Radhi Allahu Nganhu . Ia mendapatkan minyak misk dari Bahrain, kemudian ia berkata, "Saya menginginkan seseorang wanita menimbangnya, kemudian akan saya bagi-bagikan kepada orang Islam." Isterinya, Atikah, berkata: 'Saya bisa melakukannya.' Umar diam. Kemudian Umar mengulangi perkataannya, dan

Isterinya kembali menjawab dengan jawaban yang sama. Kemudian Umar berkata, 'Saya tidak ingin kamu meletakkan minyak tersebut di tanganmu, kemudian kamu berkata bahwa tanganmu berdebu, sehingga kamu mengusap lehermu dengan tanganmu tersebut, maka bila kamu melakukan itu kamu telah mengambil sebagian hak orang Islam".
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar